Tampilkan postingan dengan label Sunnah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunnah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 September 2020

Pengertian Riba Jahiliah Dalam Al-Qur'an Dan Sunnah Lengkap

Definisi Riba
Riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Adapun menurut istilah tekhnis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Mengenai hal ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Dalam kaitannya dengan pengertian Al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al- Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an menjelaskan :
والربا في اللغة هو الزيادة , والمراد به في الآية كل زيادة لم يقابلها عوض
Artinya: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat ini quran ini yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa.
Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya.

Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.
Demikian pula dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam, kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.

Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian pula dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan juga rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzhab fiqhiyyah.
Di antaranya sebagai berikut :
Pertama, Badr ad-Din al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al Bukhari :
الأصل فيه (الربا) الزيادة –وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع”
Artinya: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut Syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Kedua, Imam Syarakhsi dari Madzhab Hanafi :
الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع
Artinya: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.

Ketiga, Raghib al-Ashfahani :
هو الزيادة على رأس المال (المفردات في غريب القرآن)
Artinya: “Riba adalah penambahan atas harta pokok”.

Keempat, Qatadah :
“ان الربا الجاهلية أن يبيع الرجل البيع الى أجل مسمى فإذا حل الآجل ولم يكن عند صاحبه قضاء زاد وأخر عنه
Artinya: “Riba Jahiliyah adalah seseorangh yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu.
Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.
Kelima, Zaid Bin Aslam :
إنما كان ربا الجاهلية في التضعيف وفي السن يكون للرجل فضل دين فيأتيه إذا حل الأجل فيقول تقضينى أو تزيدني
Artinya : “Yang dimaksud dengan riba Jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seorang yang memiliki piutang atas mitranya, pada saat jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau tambah”.

Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah. 
dapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Pertama, Riba Qardh.
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (Muqtaridh)

Kedua, Riba Jahiliyyah.
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Ketiga, Riba Fadhl.
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Keempat, Riba Nasi’ah.
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba dalam Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dasn jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami, “Riba itu terdiri atas tiga jenis : riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah.
Al –Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh.
Beliau juga menyatakan bahwa semuaa jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”.

Jenis-Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
Pertama, emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya ;
Kedua, bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antara barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, jual beli antara barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama.
Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,00 dengan Rp. 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar menukar.
Kedua, jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli, misalnya RP. 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
Ketiga, jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad.
Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
Keempat, jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

Riba Adalah Haram
Islam memperbolehkan mengembangkan harta dengan jalan berdagang. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Allah memuji orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi untuk berdagang. Firman-Nya :
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya : “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. (Q.S. Al-Muzzammil: 20).
Akan tetapi Islam membendung jalan bagi semua orang untuk mengembangkan hartanya dengan jalan riba.
Islam mengharamkan riba yang sedikit dan yang banyak, Islam mencela orang-orang yahudi yang memungut riba padahal mereka dilarang.

Di antara ayat–ayat Al Quran yang diturunkan belakangan ialah firman Allah dalam surat Al Baqarah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ((279)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 278-279).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan perang kepada riba dan orang-orang yang memungut riba, di samping menjelaskan bahaya riba bagi masyarakat.
Sabdanya, “Apabila riba dan zina sudah merajalela di suatu negri, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk menerima adzab Allah.” (H.R. Al-Hakim).

Larangan riba ini bukan hal baru di antara agama-agama samawi, dalam agam Yahudi, tepatnya dalam perjanjian lama terdapat ayat : ”Jikalau kamu memberi pinjaman uang kepada umat-Ku, yaitu kepada orang-orang miskin yang di antara kamu, maka jangan kamu menjadi baginya seperti penagih utang yang keras, dan jangan ambil bunga darinya”. (Kitab keluaran,Pasal 22, ayat 25).
Di kalangan agama kristen juga demikian, misalnya dalam kitab Injil Lukas disebutkan : “Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu, dan berbuat baik, dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu kelak.” (Lukas 6: 35)
Tetapi sayang tangan-tangan usil telah sampai kepada perjanjian lama, sehingga mereka menjadikan kata “Saudaramu” di atas dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ulangan : “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia.” (Pasal 23, ayat 20).

Jerat Riba Hikmah Diharamkannya Riba
Jika Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya, sesungguhnya ia bermaksud memelihara kemashlahatan manusia baik mengenai akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya.
Para ulama Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah diharamkannya riba.
Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh kajian-kajian kontemporer.
Tetapi kami rasa cukup apa yang dikemukakan oleh Imam ar Razi dalam tafsirnya, sebagai berikut :
Pertama : bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia mendapatkan tambahan satu dirham tanpa imbalan apa-apa.

Sedang harta seseorang merupakan standar hidupnya yang memiliki kehormatan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya.” (HR. Abu Nua’im).
Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah pasti haram.

Kedua : bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah hartanya dengan melakukan transaksi riba, baik tambahan itu diperoleh secara kontan atau berjangka, maka dia akan meremehkan persoalan mencari penghidupan, sehingga nyaris dia tidak mau menanggung resika berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.

Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat.
Dan sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidaka akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan, ketrampilan, perusahaan, dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi bahwa hikmah ini pasti dapat diterima dari pandangan pereokonomian).

Ketiga : bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan antar masyakat dalam bidang pinjam-meminjam.
Karena apabila riba diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba dihalalkan, maka kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya untuk mendapatkan uang satu dirham dengan pengembalian dua dirham.

Hal demikian ini sudah barang tentu akan menyebabkan terputusnya perasaan belas kasihan, kebaikan dan kebajikan.
(alasan ini tentu dapat diterima dari segi akhlak).

Keempat : pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah.

Padahal tindakan demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih saying yang Maha penyayang.
(Ini ditinjau dari segi social).
Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat.
Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin.

Hal ini akan mengarah kepada tindakan membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang pada gilirannya akan menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan menyulut api permusuhan antara sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain, bahkan dapat menimbulkan pembrontakan dari kelompok ekstrem dan fundamentalis.
Sejarah juga telah mencatat bagaimana bahaya riba dan pemakan riba terhadap politik, hokum, keamanan nasional dan internasional.

Pemberi Riba dan Penulisnya
Pemberi riba adalah pemilik harta yang memberikan pinjaman kepada orang yang meminjamnya, dengan meminta pengembalian lebih dari pinjaman pokoknya.
Orang yang demikian ini tidak diragukan lagi dikutuk Allah dan semua manusia.

Akan tetapi Islam sesuai sunnahnya dalam mengharamkan sesuatu-tidak hanya membatasi dosa itu pada orang yang memakan riba saja, melainkan sama pula dosanya bagi orang yang memberi makan riba, yakni peminjam yang memberikan bunga, penulis dan dua orang saksinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda dalam haditsnya :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
Artinya : “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, dua orang saksinya dan penulisnya”. (H.R. At-Tirmidzi).

Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa orang yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, di antaranya karena alasan berikut.
Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat dan hadits riba.

Darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

Imam Suyuthi dalam bukunya, Al Ashbah wan Nadzair menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian”.

Dalam literature klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah .
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah: 173).
Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al Qawaid al Fiqhiyyah seputar keadaan darurat.

Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah :
اَلضَّرُورَاتُ تُقّدَّرُ بِقَدَرِهَا
Artinya: “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya”.
Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang.
Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangganya.

Berlipat Ganda
RIBA Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.
Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 130).
Sepintas, surah Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda.
Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelanggaran riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat, syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut.
Ia menjelaskan secara linguistik (ضعف) arti “kelipatan”.
Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan ( أضعاف) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi.
Minimal jamak adalah 3. dengan demikian, (أضعافا) berarti 3×2=6. Adapun (مضاعفة) dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%.
Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
Menanggapi pembahasan surah Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar Bin Abdul Aziz al Matruk, penulis buku ar Riba wal Muamalat Al mashrafiyyah ri Nadzri ash Syariah al Islamiah, menegaskan,

أما الاستدلال باية آل عمران والتعبير بالإضعاف فيها فليس المقصود أن يبلغ كل الربا هذا الملغ بل المقصود من شأن الربا عامة أن يصبح كذلك مع تعاقب السنين ولهذا أصح هذا التعبير وصفا عاما للربا في لغة الشرع
Artinya : “Adapun yang dimaksud dengan aya 130 surah Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak.
Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan Rasul-Nya).
Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Tathwiir al A’maali al Mashrafiyyah bimaa yattafiqu wasy-syariah hlm.
138-139 menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak.

Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint Labun). Kalau meminjamkan bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun).
Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar.
Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran: 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penururunan wahyu, maupun sabda sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhlafah yang berarti konsekuensi secara terbalik, jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak sendirian, bergerombol ; jika tidak di dalam, di luar ; dan sebagainya- kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra [17]: 32).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah.” (Q.S. Al Maidah [5]: 3).

Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang.
Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang adalah memakan dagingnya.
Sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara ekspilisit.
Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal?
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis, penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah seputer subjek pembahasan, demikian juga displin ilmu bayan, badi’ dan maani.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa aya 130 surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke-3 H.
Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari al Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H.
Para Ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan ‘ayat sapu jagat’ untuk segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.

Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu, dengan demikian Bank tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada ‘badan hukum’ sama sekali.
Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat lebih besar dari perseorangan.
Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama ; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya.

Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallf.
Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah Swt.
Wallahu a'lam.

Cara Menambah Rezeki Sesuai Tuntunan Al-Qur'an Dan Sunnah

Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunan-Nya.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita.
Siapa yang ditunjuki Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya.
Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesemabahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat, dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba’du.
Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki.
Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa bepegang kepada Islam akan mengganggu rizki mereka.

Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam, tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi, hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.

Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq Azza wa Jalla tidak mensyariatkan agamanya hanya sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja, tetapi Allah mensyaratkan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagian mereka di dunia.
Bahkan doa yang sering dipanjatkan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat manusia.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : “Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”.

Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan.
Tetapi sebaliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan.
Seandainya umat ini mau memahami, menyadari, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi.

Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan mengenalkan saudara-saudara sesama Muslim tentang berbagai sebab di atas, dan untuk meluruskan pemahaman mereka tentang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah tersesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah untuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapatkan rizki tersebut dalam buku kecil ini.
Buku ini saya beri judul “Mafatih ar-Rizqi fi Dhau’al Kitab wa as-Sunnah”.

Di antara hal-hal yang saya perhatikan –dengan karunia Allah- dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Rujukan utama dalam makalah ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya yang mulia.
2. Saya menukil hadits-hadits dari maraji’ (sumber) aslinya.
Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha’if dan lain sebagainya, pent), kecuali apa yang saya nukil dari ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim).
Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahian keduanya).
3. Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faidah (penjelasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (keterangan) hadits-hadits.
4. Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyariatkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan, setelah memohon pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala- dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keraguan-keraguan di dalamnya.
5. Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat dari sebab-sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan selain masalah rizki.
Kecuali disebutkan secara kebetulan.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan saya untuk membicarakan hal-hal tersebut di masa yang akan datang.
6. Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, insya Allah.
7. Saya tuliskan beberapa maraji’ (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali padanya.
8. Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya.
Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untuk mengumpulkannya.

SISTEMATIKA PEMBAHASAN Mukadimah :
-Pertama : Istighfar dan Taubat.
-Kedua : Takwa.
-Ketiga : Tawakal Kepada Allah.
-Keempat : Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
-Kelima : Melanjutkan Haji Dengan Umrah.

-Keenam : Silaturahim.
-Ketujuh : Infak Di Jalan Allah.
-Kedelapan : Memberi Nafkah Kepada Orang Yang Fokus Menuntut Ilmu Syariat.
-Kesembilan : Berbuat Baik Kepada Orang-Orang Yang Lemah.
-Kesepuluh : Hijrah Di Jalan Allah.
-Penutup : Terdiri dari kesimpulan bahasan dan pesan.

UCAPAN TERIMA KASIH DAN DOA
Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat meminta segala sesuatu, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini.
Kami ucapkan terima kasih sekaligus panjatkan doa kepada saudaraku Dr.Sayyid Muhammad Sadati asy-Syinqithi.

Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini.
Ucapan terima kasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab at-Ta’awun li ad-Da’wah wa al-Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-Orang Asing di Batha’, Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia.
Dimana sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut.
Doa saya juga untuk putra saya tersayang, Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain.
Mereka secara bersama-sama dengan saya, memeriksa naskah yang telah di seting dari buku ini.
Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat.
Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Dia menjadikan pekerjaan saya ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya, serta menjadikannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.
Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb yang Mahahidup lagi terus menerus mengurus makhlukNya, semoga Dia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta segenap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyariatkan.
Semoga pula Dia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Amin

Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, sahabat, dan segenap pengikutnya.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata :
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)
“Doa yang sering dipanjatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”[Shahih al-Bukhari, Kitab ad-Da’awat, Bab Qaul an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbana Atina fi ad-Dunya Hasanah, 11191 no. 6389]

2. Muqadimah Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, hal.14, juga Nuzhat an-Nazhar fi Taudhih Nukhbat al-Fikar, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, hal.29
Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah SWT.
Wallahu a'lam.



Kamis, 23 Juli 2020

Niat Doa Buka Puasa Dan Makan Sahur Waktu Sesuai Sunnah

Buka Puasa dan Sahur Adalah sebuah pekerjaan yang di lakukan pada waktu tertentu serta memiliki fungsi sama namun tujuan berbeda.
Berbuka dan sahur di lakukan hanya ketika melaksanakan ibadah puasa baik itu yang sunnah atau wajib di bulan ramadhan sebagai tanda.
Berbuka puasa adalah menyantap makanan sebagai tanda pembuka dan berakhirnya melaksanakan puasa sedangkan sahur adalah menyantap makanan guna untuk melaksanakan puasa agar badan tetap dalam kondisi kuat dan stabil seharian penuh.

Kegembiraan saat datangnya buka puasa di gambarkan oleh banyak orang dengan menyajikan beraneka ragam menu buka puasa baik itu berupa makanan dan minuman, serta rata-rata jenis makanan tersebut selalu di sajikan dengan sangat spesial yang mana jarang di temukan pada hari-hari lainnya.

Namun perlu di ingat dalam kegembiraan tersebut jangan sampai lupa akan lebaikan yang harus di amalkan yaitu membaca doa buka puasa, karena peran dari doa sangat penting dalam mendapatkan keberkahan seperti halnya juga peran doa pada umumnya misal salah satunya dari doa qunut dan sejenisnya.

Memang tidak dapat di pungkiri, bahwa saat buka puasa menjadi waktu yang sangat gembira, sebab sehari lamanya menehan lapar dan haus akhirnya tiba pada waktu untuk berbuka.
Akan tetapi kebahagiaan tersebut hanya sebatas bisa di rasakan oleh jasad saja tanpa di dapat secara ruhaniah.
Agar keduanya bisa mendapatkan kegembiraan maka salah satu yang penting ketika berpuasa yaitu harus di tanggapi dengan sederhana dan di sertai hal-hal sunnah misal membaca doa buka puasa baik itu ketika puasa ramadhan atau puasa syawal dan puasa sunnah lainnya.


Selayaknya saat buka puasa tidak hanya sebatas di jadikan waktu bergembira dengan adanya makanan-makanan enak yang di siang harinya di larang untuk di makan namun saat ini sudah sah untuk di santap.
Akan tetapi waktu buka puasa juga harus senantiasa di jadikan momen baik untuk bersukur kepada dzat yang maha pemberi rezeki dan kesehatan yaitu Allah swt.
Dengan cara salah satunya berdoa atau membacakan doa terlebih dahulu sebelum berbuka puasa, tujuannya agar selain bisa mengenyakan perut saja apa yang di makan tetapi bisa menjadi nilai ibadah sunnah.

Sementara mengenai bacaan doa berbuka puasa sebenarnya sangat mudah sekali bahkan kami yakin anak-anak pun sudah pada memahaminya, karena umumnya doa ini sudah di ajarkan sejak dini ketika masih berinjak di sekolah taman kanak-kanak atau paud, bahkan di majlis-majlis ta’lim pun doa berbuka puasa biasanya di ajarkan terlebih dahulu.
Tetapi mungkin di karenakan jarangnya pangamalan dari doa ini sehingga tidak sedikit dari saudara di luar sana ada yang lupa lagi dengan bacaan lengkapnya, maka kami di sini mencoba untuk menulisnya kembali, seperti berikut bacaannya.

 


Doa Buka Puasa

اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma lakasumtu wabika aamantu wa’alaa rizqika afthortu birohmatika yaa arhamar roohimiin

Artinya : Ya Allah keranaMu aku berpuasa, dengan Mu aku beriman, kepadaMu aku berserah dan dengan rezekiMu aku berbuka (puasa), dengan rahmat MU, Ya Allah Tuhan Maha Pengasih.

Doa Buka Puasa

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمأُ وابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ تَعالى

Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu dzahaba-dh-dhama’u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya-allah ta‘ala

Artinya : “Duhai Allah, untuk-Mulah aku berpuasa, atas rezekimulah aku berbuka.
Telah sirna rasa dahaga, urat-urat telah basah, dan (semoga) pahala telah ditetapkan, insyaaallah.”

Kedua dari bacaan doa buka puasa di atas boleh di amalkan salah satunya mana yang lebih mudah untuk di pahami, sementara apabila apabila harus memilih mana yang paling baik, maka keduanya sama-sama sangat baik, yang tidak baik itu adalah yang tidak membaca doa ketika akan bukan puasa dan orang yang menganggap jelek salah satu dari doanya.
Maka dari itu silahkan hafalkan hingga paham agar bisa lebih mudah mengamalkannya dengan cara membaca berulang kali hingga benar-benar paham.

Waktu Buka Puasa Dan Sahur

Untuk waktu awal boleh berbuka puasa yaitu setelah terbenamnya matahari awal masuknya waktu maghrib yang di tandai oleh suara adzan, serta buka puasa di sunnahkan untuk di segerakan baik itu di mulai dengan makanan kecil atau minuman.
Sedangkan untuk akhir waktu sahur yaitu ketika awal masuk terbitnya fajar atau di tandai dengan waktu subuh, tetapi para ulama sangat menganjurkan makan sahur di akhiri pada waktu imsyak sekitar 10 menit sebelum subuh tujuannya agar lebih berhati-hati dan ini sangat di anjurkan jika sudah imsak stop untuk makan dan minum, tetapi untuk doa sahur mohon maaf sampai saat ini kami belum mengetahui bagaimana bacaannya yang benar dan shahih.

 

Selain memperhatikan awal dan akhir waktu berpuasa serta bacaan doanya, dalam ibadah puasa ini hal yang paling penting untuk benar-benar di perhatikan adalah niat,
biasanya orang banyak yang lupa membaca niat ketika melaksanakan puasa sunnah sebab apabila pada ramadhan niat di bacakan saat shalat tarawih akan tetapi dalam puasa sunnah ini tidak terdapat tarawih sehingga orang-orang yang berencana melakukan puasa sunnah atau qadha lupa akan niatnya di bacakan di malam hari seperti beberapa contoh untuk niat puasa sunnah sebagai berikut.

Niat puasa sunah hari senin

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa sunah hari kamis

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa sunnah syawal 6 hari

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ ِستَةٍ ِمنْ شَوَالٍ سُنَةً ِللَه تَعَالَي


Niat puasa sunah sebelum idul adha tanggal 1-7 dzulhijjah

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ ذِي الْحِجَّةِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa tarwiyah tanggal 8 dzulhijjah

نَوَيْتُ صَوْمَ التَّرْوِيَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa arafah tanggal 9 dzulhijjah

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa ganti qadha

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءٍ فَرْضَ رَمَضَانً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa bulan rajab

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ فِى شَهْرِ رَجَبِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa daud

نَوَيْتُ صَوْمَ دَاوُدَ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى


Niat puasa nazar

نَوَيْتُ صَوْمَ النَّذَرِ لِلَّهِ تَعَالىَ


Niat puasa 3 hari ayyamul bidh

نَوَيْتُ صَوْمَ اَيَّامَ اْلبِيْضِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى

Membaca doa buka puasa tidak termasuk pada kewajiban dan tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya berpuasa yang di kerjakan, akan tetapi menjadi kesunnahan yang apabila di bacakan ketika buka maka akan mendapatkan pahala serta keberkahan terhadap apa yang di makan.

Maka dari itu agar mendapat kebeikan berbuka silahkan pelajari semua yang ada pada gambar cara bacaan doa niat setelah sesudah untuk buka Puasa dan sebelum ketika Makan Sahur hari ini kapan waktu sesuai sunnah senin kamis qadha rajab rosul sunnah yang benar syawal ramadhan artinya ganti bersama dan lain sebagainya.

Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah SWT.
Wallahu a'lam.

Pengertian Riba Jahiliah Dalam Al-Qur'an Dan Sunnah Lengkap

Definisi Riba Riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membes...