Jumat, 11 September 2020

Pengertian Riba Jahiliah Dalam Al-Qur'an Dan Sunnah Lengkap

Definisi Riba
Riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Adapun menurut istilah tekhnis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Mengenai hal ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Dalam kaitannya dengan pengertian Al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al- Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an menjelaskan :
والربا في اللغة هو الزيادة , والمراد به في الآية كل زيادة لم يقابلها عوض
Artinya: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat ini quran ini yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa.
Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya.

Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.
Demikian pula dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam, kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.

Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian pula dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan juga rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzhab fiqhiyyah.
Di antaranya sebagai berikut :
Pertama, Badr ad-Din al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al Bukhari :
الأصل فيه (الربا) الزيادة –وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع”
Artinya: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut Syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.

Kedua, Imam Syarakhsi dari Madzhab Hanafi :
الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع
Artinya: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”.

Ketiga, Raghib al-Ashfahani :
هو الزيادة على رأس المال (المفردات في غريب القرآن)
Artinya: “Riba adalah penambahan atas harta pokok”.

Keempat, Qatadah :
“ان الربا الجاهلية أن يبيع الرجل البيع الى أجل مسمى فإذا حل الآجل ولم يكن عند صاحبه قضاء زاد وأخر عنه
Artinya: “Riba Jahiliyah adalah seseorangh yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu.
Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”.
Kelima, Zaid Bin Aslam :
إنما كان ربا الجاهلية في التضعيف وفي السن يكون للرجل فضل دين فيأتيه إذا حل الأجل فيقول تقضينى أو تزيدني
Artinya : “Yang dimaksud dengan riba Jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seorang yang memiliki piutang atas mitranya, pada saat jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau tambah”.

Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah. 
dapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Pertama, Riba Qardh.
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (Muqtaridh)

Kedua, Riba Jahiliyyah.
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Ketiga, Riba Fadhl.
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Keempat, Riba Nasi’ah.
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba dalam Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dasn jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami, “Riba itu terdiri atas tiga jenis : riba fadhl, riba al-yaad, dan riba an-nasi’ah.
Al –Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh.
Beliau juga menyatakan bahwa semuaa jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”.

Jenis-Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
Pertama, emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya ;
Kedua, bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antara barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, jual beli antara barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama.
Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,00 dengan Rp. 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar menukar.
Kedua, jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli, misalnya RP. 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
Ketiga, jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad.
Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
Keempat, jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

Riba Adalah Haram
Islam memperbolehkan mengembangkan harta dengan jalan berdagang. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Allah memuji orang-orang yang melakukan perjalanan di muka bumi untuk berdagang. Firman-Nya :
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya : “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”. (Q.S. Al-Muzzammil: 20).
Akan tetapi Islam membendung jalan bagi semua orang untuk mengembangkan hartanya dengan jalan riba.
Islam mengharamkan riba yang sedikit dan yang banyak, Islam mencela orang-orang yahudi yang memungut riba padahal mereka dilarang.

Di antara ayat–ayat Al Quran yang diturunkan belakangan ialah firman Allah dalam surat Al Baqarah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ((279)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 278-279).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan perang kepada riba dan orang-orang yang memungut riba, di samping menjelaskan bahaya riba bagi masyarakat.
Sabdanya, “Apabila riba dan zina sudah merajalela di suatu negri, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk menerima adzab Allah.” (H.R. Al-Hakim).

Larangan riba ini bukan hal baru di antara agama-agama samawi, dalam agam Yahudi, tepatnya dalam perjanjian lama terdapat ayat : ”Jikalau kamu memberi pinjaman uang kepada umat-Ku, yaitu kepada orang-orang miskin yang di antara kamu, maka jangan kamu menjadi baginya seperti penagih utang yang keras, dan jangan ambil bunga darinya”. (Kitab keluaran,Pasal 22, ayat 25).
Di kalangan agama kristen juga demikian, misalnya dalam kitab Injil Lukas disebutkan : “Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu, dan berbuat baik, dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu kelak.” (Lukas 6: 35)
Tetapi sayang tangan-tangan usil telah sampai kepada perjanjian lama, sehingga mereka menjadikan kata “Saudaramu” di atas dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ulangan : “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia.” (Pasal 23, ayat 20).

Jerat Riba Hikmah Diharamkannya Riba
Jika Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya, sesungguhnya ia bermaksud memelihara kemashlahatan manusia baik mengenai akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya.
Para ulama Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah diharamkannya riba.
Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh kajian-kajian kontemporer.
Tetapi kami rasa cukup apa yang dikemukakan oleh Imam ar Razi dalam tafsirnya, sebagai berikut :
Pertama : bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia mendapatkan tambahan satu dirham tanpa imbalan apa-apa.

Sedang harta seseorang merupakan standar hidupnya yang memiliki kehormatan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya.” (HR. Abu Nua’im).
Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah pasti haram.

Kedua : bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah hartanya dengan melakukan transaksi riba, baik tambahan itu diperoleh secara kontan atau berjangka, maka dia akan meremehkan persoalan mencari penghidupan, sehingga nyaris dia tidak mau menanggung resika berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.

Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat.
Dan sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidaka akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan, ketrampilan, perusahaan, dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi bahwa hikmah ini pasti dapat diterima dari pandangan pereokonomian).

Ketiga : bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan antar masyakat dalam bidang pinjam-meminjam.
Karena apabila riba diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba dihalalkan, maka kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya untuk mendapatkan uang satu dirham dengan pengembalian dua dirham.

Hal demikian ini sudah barang tentu akan menyebabkan terputusnya perasaan belas kasihan, kebaikan dan kebajikan.
(alasan ini tentu dapat diterima dari segi akhlak).

Keempat : pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah.

Padahal tindakan demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih saying yang Maha penyayang.
(Ini ditinjau dari segi social).
Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat.
Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin.

Hal ini akan mengarah kepada tindakan membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang pada gilirannya akan menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan menyulut api permusuhan antara sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain, bahkan dapat menimbulkan pembrontakan dari kelompok ekstrem dan fundamentalis.
Sejarah juga telah mencatat bagaimana bahaya riba dan pemakan riba terhadap politik, hokum, keamanan nasional dan internasional.

Pemberi Riba dan Penulisnya
Pemberi riba adalah pemilik harta yang memberikan pinjaman kepada orang yang meminjamnya, dengan meminta pengembalian lebih dari pinjaman pokoknya.
Orang yang demikian ini tidak diragukan lagi dikutuk Allah dan semua manusia.

Akan tetapi Islam sesuai sunnahnya dalam mengharamkan sesuatu-tidak hanya membatasi dosa itu pada orang yang memakan riba saja, melainkan sama pula dosanya bagi orang yang memberi makan riba, yakni peminjam yang memberikan bunga, penulis dan dua orang saksinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda dalam haditsnya :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
Artinya : “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, dua orang saksinya dan penulisnya”. (H.R. At-Tirmidzi).

Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa orang yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, di antaranya karena alasan berikut.
Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat dan hadits riba.

Darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

Imam Suyuthi dalam bukunya, Al Ashbah wan Nadzair menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian”.

Dalam literature klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah .
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Baqarah: 173).
Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al Qawaid al Fiqhiyyah seputar keadaan darurat.

Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah :
اَلضَّرُورَاتُ تُقّدَّرُ بِقَدَرِهَا
Artinya: “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya”.
Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya.
Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang.
Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangganya.

Berlipat Ganda
RIBA Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.
Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran ayat 130 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 130).
Sepintas, surah Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda.
Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelanggaran riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat, syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut.
Ia menjelaskan secara linguistik (ضعف) arti “kelipatan”.
Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan ( أضعاف) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi.
Minimal jamak adalah 3. dengan demikian, (أضعافا) berarti 3×2=6. Adapun (مضاعفة) dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%.
Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
Menanggapi pembahasan surah Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar Bin Abdul Aziz al Matruk, penulis buku ar Riba wal Muamalat Al mashrafiyyah ri Nadzri ash Syariah al Islamiah, menegaskan,

أما الاستدلال باية آل عمران والتعبير بالإضعاف فيها فليس المقصود أن يبلغ كل الربا هذا الملغ بل المقصود من شأن الربا عامة أن يصبح كذلك مع تعاقب السنين ولهذا أصح هذا التعبير وصفا عاما للربا في لغة الشرع
Artinya : “Adapun yang dimaksud dengan aya 130 surah Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak.
Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan Rasul-Nya).
Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Tathwiir al A’maali al Mashrafiyyah bimaa yattafiqu wasy-syariah hlm.
138-139 menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak.

Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint Labun). Kalau meminjamkan bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun).
Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar.
Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran: 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penururunan wahyu, maupun sabda sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhlafah yang berarti konsekuensi secara terbalik, jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak sendirian, bergerombol ; jika tidak di dalam, di luar ; dan sebagainya- kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra [17]: 32).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah.” (Q.S. Al Maidah [5]: 3).

Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang.
Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang adalah memakan dagingnya.
Sedangkan tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara ekspilisit.
Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal?
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis, penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah seputer subjek pembahasan, demikian juga displin ilmu bayan, badi’ dan maani.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa aya 130 surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke-3 H.
Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari al Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H.
Para Ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan ‘ayat sapu jagat’ untuk segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.

Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu, dengan demikian Bank tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada ‘badan hukum’ sama sekali.
Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat lebih besar dari perseorangan.
Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama ; lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya.

Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallf.
Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah Swt.
Wallahu a'lam.

Cara Menambah Rezeki Sesuai Tuntunan Al-Qur'an Dan Sunnah

Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunan-Nya.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita.
Siapa yang ditunjuki Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya.
Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesemabahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat, dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba’du.
Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki.
Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa bepegang kepada Islam akan mengganggu rizki mereka.

Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam, tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi, hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.

Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq Azza wa Jalla tidak mensyariatkan agamanya hanya sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja, tetapi Allah mensyaratkan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagian mereka di dunia.
Bahkan doa yang sering dipanjatkan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat manusia.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : “Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”.

Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan.
Tetapi sebaliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan.
Seandainya umat ini mau memahami, menyadari, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi.

Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan mengenalkan saudara-saudara sesama Muslim tentang berbagai sebab di atas, dan untuk meluruskan pemahaman mereka tentang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah tersesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah untuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapatkan rizki tersebut dalam buku kecil ini.
Buku ini saya beri judul “Mafatih ar-Rizqi fi Dhau’al Kitab wa as-Sunnah”.

Di antara hal-hal yang saya perhatikan –dengan karunia Allah- dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Rujukan utama dalam makalah ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya yang mulia.
2. Saya menukil hadits-hadits dari maraji’ (sumber) aslinya.
Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha’if dan lain sebagainya, pent), kecuali apa yang saya nukil dari ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim).
Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahian keduanya).
3. Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faidah (penjelasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (keterangan) hadits-hadits.
4. Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyariatkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan, setelah memohon pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala- dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keraguan-keraguan di dalamnya.
5. Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat dari sebab-sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan selain masalah rizki.
Kecuali disebutkan secara kebetulan.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan saya untuk membicarakan hal-hal tersebut di masa yang akan datang.
6. Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, insya Allah.
7. Saya tuliskan beberapa maraji’ (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali padanya.
8. Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya.
Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untuk mengumpulkannya.

SISTEMATIKA PEMBAHASAN Mukadimah :
-Pertama : Istighfar dan Taubat.
-Kedua : Takwa.
-Ketiga : Tawakal Kepada Allah.
-Keempat : Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
-Kelima : Melanjutkan Haji Dengan Umrah.

-Keenam : Silaturahim.
-Ketujuh : Infak Di Jalan Allah.
-Kedelapan : Memberi Nafkah Kepada Orang Yang Fokus Menuntut Ilmu Syariat.
-Kesembilan : Berbuat Baik Kepada Orang-Orang Yang Lemah.
-Kesepuluh : Hijrah Di Jalan Allah.
-Penutup : Terdiri dari kesimpulan bahasan dan pesan.

UCAPAN TERIMA KASIH DAN DOA
Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat meminta segala sesuatu, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini.
Kami ucapkan terima kasih sekaligus panjatkan doa kepada saudaraku Dr.Sayyid Muhammad Sadati asy-Syinqithi.

Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini.
Ucapan terima kasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab at-Ta’awun li ad-Da’wah wa al-Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-Orang Asing di Batha’, Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia.
Dimana sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut.
Doa saya juga untuk putra saya tersayang, Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain.
Mereka secara bersama-sama dengan saya, memeriksa naskah yang telah di seting dari buku ini.
Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat.
Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Dia menjadikan pekerjaan saya ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya, serta menjadikannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.
Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb yang Mahahidup lagi terus menerus mengurus makhlukNya, semoga Dia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta segenap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyariatkan.
Semoga pula Dia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Amin

Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, sahabat, dan segenap pengikutnya.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata :
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)
“Doa yang sering dipanjatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka”[Shahih al-Bukhari, Kitab ad-Da’awat, Bab Qaul an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbana Atina fi ad-Dunya Hasanah, 11191 no. 6389]

2. Muqadimah Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, hal.14, juga Nuzhat an-Nazhar fi Taudhih Nukhbat al-Fikar, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, hal.29
Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah SWT.
Wallahu a'lam.



Amalan Dalam Al-Quran Yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Yang paling banyak memasukkan seseorang kedalam surga ada dua amalan yaitu takwa dan akhlak yang baik.
Yang terakhir di atas yang amat jarang ditemukan, bahkan pada orang-orang yang sudah kenal agama.
Ada yang sudah lama ngaji, sudah sekian duduk di majelis ilmu, namun ia adalah orang yang sering lalaikan amanat.
Dengan tampilannya yang jenggotan, namun terlihat sangar (tidak murah senyum) dan kasar.
Seolah-olah yang dipentingkan adalah penampilan lahiriyah tanpa memperhatikan akhlak yang santun, amanat dan lemah lembut.
Padahal seharusnya dengan rajinnya menuntut ilmu dan sudah menjalankan ajaran Rasul semakin terbimbing pada akhlak yang baik.
Karena takwa dan akhlak baik itulah yang mengantarkan pada surga.

Dari Abu Hurairah, ia berkata :
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.”
Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Maksud Takwa
Takwa asalanya adalah menjadikan antara seorang hamba dan seseutu yang ditakuti suatu penghalang.
Sehingga takwa kepada Allah berarti menjadikan antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari kemarahan, murka dan siksa Allah.
Takwa ini dilakukan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat.

Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali adalah dengan mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh.
Inilah derajat takwa yang paling tinggi.

Al Hasan Al Bashri berkata :
المتقون اتَّقَوا ما حُرِّم عليهم ، وأدَّوا ما افْتُرِض عليهم
Artinya : “Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal yang diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata :
ليس تقوى الله بصيام النهار ، ولا بقيام الليل ، والتخليطِ فيما بَيْنَ ذلك ، ولكن تقوى اللهِ تركُ ما حرَّم الله ، وأداءُ ما افترضَ الله ،فمن رُزِقَ بعد ذلك خيراً ، فهو خيرٌ إلى خير
Artinya : “Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan shalat malam, atau melakukan kedua-duanya.
Namun takwa adalah meninggalkan yang Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan.
Siapa yang setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.”

Tholq bin Habib mengatakan :
التقوى أنْ تعملَ بطاعةِ الله ، على نورٍ من الله ، ترجو ثوابَ الله ، وأنْ تتركَ معصيةَ الله على نورٍ من الله تخافُ عقابَ الله
Artinya : “Takwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau mengharap pahala dari-Nya.
Termasuk dalam takwa pula adalah menjauhi maksiat atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau takut akan siksa-Nya.”

Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan ayat bertakwalah pada Allah dengan sebenar-benarnya takwa yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 102, beliau berkata :
أنْ يُطاع فلا يُعصى ، ويُذكر فلا ينسى ، وأن يُشكر فلا يُكفر
Artinya : “Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak bermaksiat pada-Nya.
Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya.
Nikmat Allah itu disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al Hakim secara marfu’, namun mauquf lebih shahih).
Yang dimaksud bersyukur pada Allah adalah dengan melakukan ketaatan pada-Nya.
Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya adalah selalu mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya, begitu saat berucap.
Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah.
Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 397-402)

Maksud Akhlak yang Baik
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan :
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya : “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada.
Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk bagian dari takwa.
Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin ditunjukkan pentingnya akhlak.
Sebab banyak yang menyangka bahwa takwa hanyalah menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 454).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang baik sebagai tanda kesempurnaan iman.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud no. 4682 dan Ibnu Majah no. 1162. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para salaf dengan menyebutkan beberapa contoh.
Al Hasan Al Bashri mengatakan :
حُسنُ الخلق : الكرمُ والبذلة والاحتمالُ
Artinya : “Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”

Asy Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,
البذلة والعطية والبِشرُ الحسن ، وكان الشعبي كذلك
Artinya : “Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan pada orang lain.”
Demikianlah Asy Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,
هو بسطُ الوجه ، وبذلُ المعروف ، وكفُّ الأذى
Artinya : “Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan dan menahan diri dari menyakiti orang lain.”

Imam Ahmad berkata :
حُسنُ الخلق أنْ لا تَغضَبَ ولا تحْتدَّ ، وعنه أنَّه قال : حُسنُ الخلق أنْ تحتملَ ما يكونُ من الناس
Artinya : “Akhlak yang baik adalah jangan engkau marah dan cepat naik darah.” Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di hadapan manusia.”

Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,
هو بسطُ الوجهِ ، وأنْ لا تغضب
Artinya : “Bermuka manis dan jangan marah.” (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 457-458).
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita sifat takwa dan akhlak yang mulia.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Demikianlah walau masih banyak kekurangan dan mungkin ada kesalahan mohon maaf yang sebesar besarnya.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadikan kita semua semakin bersyukur atas karunia dan limpahan nikmat dari Allah SWT.
Wallahu a'lam.

Kamis, 20 Agustus 2020

Pertanyaan seorang Yahudi ke nabi Muhammad

Dalam berbagai riwayat dan juga Al-Qur'an telah dijelaskan akan keindahan di dalam surga. Para penghuni surga dipastikan akan memperoleh kenikmatan yang luar biasa dari Allah SWT. Tanpa kecuali makanan yang berlimpah dan sangat lezat.

Lantas, apa sebenarnya makanan pertama yang akan disuguhkan untuk para penghuni surga?

Ustadz Khalid Basalamah dalam sebuah kajian menyampaikan, dalam HR Imam Muslim dikisahkan mengenai makanan yang akan disuguhkan pertama kali bagi penghuni surga.

Dalam riwayat tersebut diceritakan jika Tsauban yang merupakan sahabat Rasulullah SAW pernah berdiri di sisi Rasulullah SAW. Saat itu datang seorang Yahudi dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW.

Orang Yahudi tersebut bertanya, "Di mana manusia, saat bumi digantikan dengan bumi yang lain?"

Rasulullah SAW menjawab, "Mereka dalam kegelapan sebelum jembatan."

Maka Yahudi itu bertanya kembali, "Siapakah orang pertama yang melintas di jembatan itu saat kiamat nanti?"

Rasulullah SAW menjawab, "Orang-orang fakir di kalangan Muhajirin."

"Lalu apa santapan pertama mereka nanti saat di surga?" tanya Yahudi kembali.

"Bagian pinggir hati ikan paus," kata Rasulullah SAW.

Lalu Yahudi itu bertanya lagi, "Apa makanan mereka setelah itu?"

Rasulullah SAW menjawab, "Akan disembelihkan untuk mereka sapi jantan surga yang akan dimakan di pinggiran-pinggiran surga."

"Lalu apa minuman mereka?" tanya Yahudi itu lagi.

"Dari mata air yang bernama Salsabila," jawab Rasulullah SAW.

"Engkau benar," kata Yahudi itu.

Dalam percakapan itu, Yahudi tersebut juga menyampaikan jika kedatangannya untuk bertanya sesuatu yang hanya bisa diketahui oleh utusan Allah SWT. 

Maka Rasulullah SAW bertanya, "Apakah bila aku menyampaikan kepadamu akan bermanfaat bagimu?"

Dia menjawab, "Aku mendengar dengan kedua telingaku. Aku datang kepadamu tentang anak (maksudnya tentang kapan anak menyerupai ayahnya atau ibunya)."

Maka Rasulullah SAW bersabda, "Bila sperma laki-laki mendahului sperma perempuan, maka anak itu akan menyerupai ayahnya. Dan apabila sperma perempuan mendahului sperma laki-laki, maka yang lahir adalah menyerupai ibunya."

"Sungguh engkau benar, sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi," kata Yahudi itu dan pergi.

Setelah Yahudi itu pergi, Rasulullah SAW menyampaikan jika sebenarnya dia sama sekali tak mempunyai pengetahuan akan pertanyaan yang disampaikan orang Yahudi tersebut. Termasuk pada makanan yang disuguhkan pertama kali bagi penghuni surga. Sampai pada akhirnya Allah SWT mengirimkan jawaban.

Dalam riwayat lain disebutkan jika jawaban yang disampaikan oleh Rasulullah SAW itu adalah bisikan Malaikat Jibril. Jawaban atas pertanyaan makanan pertama di surga hingga pertanyaan mengenai anak itu tak disebutkan dalam Al-Qur'an, melainkan dalam Kitab Taurat ada di dalamnya.

Rabu, 19 Agustus 2020

7 Nama Surga yang Tercantum di Dalam Alquran

Setiap manusia mendambakan agar bisa masuk surganya Allah SWT. Meski tak mudah, manusia tetap berusaha untuk melakukan segala perbuatan baik dan memperbanyak beribadah untuk merasakan nikmatnya surga.

Tentunya, surga hanya diperuntukkan bagi hamba-hamba Allah SWT yang taat kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. As-Sajdah ayat 17 yang artinya:

"Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan."

Untuk menjadi penghuni surga, tidak ada salahnya mengetahu tujuh nama-nama surga seperti dilansir dari berbagai sumber pada Kamis (13/8/2020).

1. Surga Firdaus

Allah SWT menciptakan surga ini dari emas.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mu'minun ayat 1-11 yang artinya:

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya."

Terjemahan surat di atas telah dijelaskan siapa saja calon penghuni surga Firdaus. Wallahualam.

2. Surga Adn

Jika surga Firdaus diciptakan Allah SWT dari emas, makan surga Adn diciptakan dari intan putih.

Siapa saja penghuninya?

Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rad ayat 22-24 yang artinya:

"Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."

3. Surga Al Jannah

Di dalam Alquran, kata Al-Jannah disebutkan sekitar 54 kalo di dalam 28 surat. Makna Jannah adalah sebuah tempat penuh kenikmatan, keindahan, dan banyak kebun-kebun dengan pohon yang berbuah.

4. Surga Darussalam

Darussalam yang berartikan rumah keselamatan.

Allah SWT berfirman dalam QS. Yunus ayat 25 yang artinya:

"Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)."

Bagaimana dengan calon penghuninya? Ini dijelaskan dalam QS. Al-An'am ayat 127 yang artinya:

"Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan."

5. Surga Ma'wa

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Naziat ayat 40-41 yang artinya:

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, surgalah tempat tinggal(nya)."

Menurut para sebagian ulama, surga ini diperuntukkan bagi para syahid dan letaknya disebelah kanan Arsy yang menjadi tempat tinggal.

6. Surga Jannatul Khuldi

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Furqan ayat 16 yang artinya:

Katakanlah: “Apa (azab) yang demikian itukah yang baik, atau Jannatul Khuldi (surga yang kekal) yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa?” Dia menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka?”

7. Surga Dar al-Mukamah

Allah SWT berfirman dalam QS. Fathir ayat 34-35 yang artinya:

"Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu"."

Itulah ketujuh nama-nama surga yang dijadikan tempat idama bagi setiap manusia. Semoga kita semua bisa mencapai salah satu surga tersebut, ya.

Dialog Musa dengan Iblis tentang Hati Manusia

Dikisahkan, ketika Nabi Musa AS duduk dalam suatu majelis, tiba-tiba iblis datang dengan memakai jubah panjang penutup kepala yang berwarna-warni. Ketika hendak mendekati Nabi Musa iblis melepas dan meletakkan jubahnya.

Lalu dia menghampiri Musa dan berkata, "Assalamualaikum semoga keselamatan tetap tercurah kepadamu. Musa bertanya,"Engkau siapa?

"Aku adalah iblis," jawabnya.

"Semoga Allah tidak memanjangkan hidupmu. Apa yang membuatmu datang kemari?" iblis berkata "Aku datang untuk mengucapkan salam kepadamu, karena kedudukan dan derajatmu di sisi Allah SWT." Musa bertanya lagi, "Apa yang aku lihat pada dirimu tadi?"

"Sebuah jubah panjang yang aku gunakan untuk menyambar hati manusia," jawab iblis.

Musa bertanya, "Perbuatan apa yang jika dilakukan manusia, engkau bisa menguasainya?”

Iblis menjawab, "Jika dia membanggakan diri, menganggap amalnya banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Aku akan mengingatkanmu tiga hal.

Pertama, jangan berduaan dengan perempuan yang tidak halal bagimu karena apabila seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, maka aku pasti menjadi temannya sehingga aku mengujinya dengannya. Kedua, jangan engkau menjanjikan sesuatu kepada Allah kecuali engkau menepatinya.

Ketiga, jangan menetapkan satu sedekah kecuali engkau melaksanakannya. Sesungguhnya setiap kali seorang menetapkan satu sedekah, lalu tidak melaksanakannya, maka aku pasti menjadi temannya sehingga aku menghalanginya dari menepatinya.

Kemudian iblis berpaling sambil berkata. "Celaka setelah mengetahui sesuatu yang aku jadikan manusia."

Dialog antara Musa dan Iblis ini diceritakan Imam Al-Ghazali dalam Ikhtisar Ihya Ulumiddin tentang cara meredam syahwat kemaluan. Ghazali mengatakan terkadang urusan ini berakhir dengan pemilik syahwat kemaluan merindukan tempat tertentu dimana dia tidak mau melampiaskan syahwatnya kecuali di sana.

"Perbuatan ini lebih rendah daripada binatang dan amat tercela. Selamanya berlebih-lebihan adalah perbuatan tercela," katanya.

Berlebih-lebihan disini dalam artian dominasi syahwat sudah sampai di luar batas rasional. Tetapi menghilangkan syahwat secara total seperti orang impoten juga tercela, maka yang paling baik adalah pertengahan.

Setiap kali syahwat kemaluan melewati batas, maka redamlah dengan lapar (puasa) atau menikah Rasulullah bersabda. "Wahai para pemuda, menikahlah. Barangsiapa tidak mau menikah, maka dia harus berpuasa karena puasa akan menjadi perisai pelindungnya."

5 perintah Allah kepada nabi Khidir

Tak semua orang Islam mengetahui Nabi Khidir AS. Soalnya, Nabi yang satu ini memang tak termasuk 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui.

Namun ternyata nabi yang satu ini memiliki kisah populer semasa hidupnya. Beliau bahkan diabadikan dalam jurnal 1001 kisah  teladan Muslim.

Dalam kisah tersebut Nabi Khidir AS menceritakan bahwa beliau mendapatkan lima perintah dari Allah SWT ketika tidur. Lima perintah tersebut bukanlah perintah sembarangan dan tentu saja harus dilaksanakan.

Ketika dalam keadaan tidur, Nabi Khidir AS bermimpi Allah Ta’ala memerintahkannya untuk berjalan ke arah barat. Tidak cukup sampai di sana, Allah juga memerintahkan beliau untuk melakukan lima hal terkait peristiwa yang akan ditemui sepanjang perjalanan. Perintah tersebut berbunyi:

“Pertama, makanlah apa yang engkau lihat (hadapi). Kedua, sembunyikan apa yang engkau temukan. Ketiga, terimalah apa yang datang kepadamu. Keempat, jangan kecewakan yang datang kepadamu. Kelima, larilah engkau dari apa yang ditemui.”

Karena itu merupakan perintah langsung dari Allah, maka keesokan harinya Nabi Khidir AS melaksanakannya. Ia kemudian berjalan ke arah barat. Dalam perjalanannya yang cukup panjang tersebut, Nabi Khidir AS bertemu dengan sebuah bukit.

Namun, ia kemudian merasa bingung karena perintah pertama dari Allah adalah “Makanlah apa yang engkau temui.” Akhirnya beliau berkata “Aku,” ujar Nabi Khidir ‘Alaihis salam, “diperintahkan untuk memakan apa yang aku temui, tapi ini sungguh mustahil (memakan bukit).”

Hingga pada akhirnya beliau mendekati bukit tersebut. Namun ternyata Allah berkehendak lain, terjadinya sebuah keajaiban. Bukit yang tadinya luas tersebut mengecil hingga hanya menjadi sebesar roti. Kemudian ia pun segera mengambilnya dengan tangan dan memakannya.

“Alhamdulillah, aku telah berhasil melakukan perintah pertama. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memudahkan bagiku untuk menerima pelajaran yang tersirat di dalamnya.” ujar Nabi Khidir ‘Alaihi salam, lalu melanjutkan perjalanan.

Setelah itu, di tengah perjalanan dirinya kembali bertemu dengan mangkuk berbentuk emas. Sesuai dengan perintah kedua, yakni untuk menyembunyikan apa yang ditemui maka Nabi Khidir sesegera mungkin menggali tanah untuk menyembunyikan mangkuk emas tersebut.

Namun ternyata, sebuah keanehan kembali terjadi. Mangkuk emas yang tadi di tanamnya itu bisa bergerak dan keluar dari tanah seperti sedia kala, bahkan hal ini terjadi beberapa kali. Nabi Khidir ‘Alaihi salam tidak menghiraukan mangkuk emas tersebut.
Beliau kembali melanjutkan perjalanannya. Ketika itu ada seekor burung kecil yang datang menghampirinya, ia dikejar oleh seekor elang. Nabi Khidir teringat dengan pesan Allah yang ketiga yaitu, terimalah apa yang datang padamu. Maka dari itu, dirinya menyimpan burung tersebut dengan baik.

Namun, tidak lama setelah itu adalah seekor elang yang kelaparan. Si elang tersebut bertanya, “Apakah Tuan melihat seekor burung yang tengah berlari? Aku didera lapar. Jika melihatnya, tolong beritahukan kepadaku.”

Teringat akan pesan yang keempat yaitu jangan kecewakan yang datang kepadamu, penuhi hajatnya. Hal inilah yang membuat dirinya merasa kebingungan, sebab disatu sisi dirinya kasihan jika harus melepaskan burung kecil untuk jadi santapan elang.

Akhirnya ia mendaptkan ide, Nabi Khidir membuat sebuah kesepakatan dengan burung kecil dan juga elang. Yaitu beliau hendak memotong bagian tubuh burung kecil, sebagiannya diberikan kepada elang, keduanya pun sepakat.

Beliau memberikan potongan kecil tersebut kepada elang. Setelah menyantap makanannya, burung elang ini pun pergi, kemudian burung kecil yang tadi disimpan pun akhirnya dilepaskan. Alhamdulillah, bisik Nabi Khidir ‘Alaihis salam, karena Allah Ta’ala aku bisa melakukan apa yang diperintahkannya.

Nabi Khidir kembali melanjutkan perjalanannya, dia bertemu dengan seonggok bangkai. Namun perintah kelima menyatakan bahwa dirinya harus meninggalkan apa yang ditemui. Akhirnya beliau bergegas untuk mencari tempat istirahat dan pada malam harinya ia berdoa meminta penunjuk atas hikmah di balik peristiwa yang sudah dialaminya tersebut.

Dalam tidurnya ia kembali bermimpi. Pertama, yang diperintahkan untuk dimakan itu marah. Mula-mula terlihat besar, tapi jika bersabar, mengawal, dan menahannya maka kemarahan itu semakin kecil, tidak terasa. Sedangkan mangkuk emas merupakan perlambang kebaikan. Meski disembunyikan seperti apa pun, dia akan tetap terlihat.

Ketiga, burung kecil merupakan perlambang amanah yang harus diterima dan jangan dikhianati. Keempat, jika ada orang yang datang menyampaikan keperluan, berikanlah meski engkau membutuhkannya. Terakhir, perintah kelima, bau yang busuk itu merupakan ghibah atau menceritakan keburukan seseorang sehingga harus ditinggalkan.

Demikianlah kisah lengkap mengenai Nabi Khidir dan lima perintah dari Allah SWT. Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah jelas memiliki faedah yang bisa dijadikan sebagai pengajaran bagi kita semua. Semoga kisah ini membuat kita menjadi hamba yang lebih bertakwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Pengertian Riba Jahiliah Dalam Al-Qur'an Dan Sunnah Lengkap

Definisi Riba Riba menurut bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membes...